Rabu, 22 Januari 2025

Kembali Ke Jalan Bung Karno!

Ditengah Penjajahan Kolonialisme Belanda pada 6 Juni 1900, seorang perempuan, Ida Ayu Nyoman Rai, yang sehari-hari dipanggil Nyoman, melahirkan seorang putra bernama Soekarno. Pada 1 Juni 1945, dihadapan Badan Penyelidik Usaha Persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Soekarno, pertama kali berpidato tentang Pancasila yang selanjutnya menjadi dasar Ideologi Negara Republik Indonesia. Sehingga Setiap 1 Juni dikenal sebagai Hari Kelahiran Pancasila. Ia menjadi menjadi Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia yang berdiri pada 17 Agustus 1945. Pada 22 Juni 1966 Soekarno dipaksa meletakkan jabatan lewat penolakan oleh MPRS atas Pidato Pertanggung Jawaban Presiden Soekarno,–setelah sebuah kudeta militer yang didukung Amerika Serikat pada 30 September 1965.  Presiden Soekarno meninggal dunia di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) Gatot Subroto, Jakarta pada 21 Juni 1970. Sebagai penghormatan terhadap Bulan Bung Karno, selama sebulan Bergelora.com akan menurunkan berbagai tulisan tentang Bung Karno.

 

 

Oleh : M. Ikhyar Velayati Harahap

Media Online Bergelora.com meminta saya menulis tentang Bung Karno dalam mengenang Bulan Bung Karno dan Pancasila. Sudah waktunya kita bicara apa adanya, karena negara dan bangsa Indonesia sedang dalam keadaan darurat.

Perlu diingat, masih banyak orang dari golongan sisa-sisa pencemooh Bung Karno dan kaum munafik lainnya yang berusaha memisahkan cita-cita perjuangan Bung Karno dengan kekinian. Mereka terus berusaha membendung pelaksanaan ajaran politik Bung Karno secara utuh keseluruhan. Mereka menyisir mana ajaran yang boleh dan mana yang tidak boleh diterapkan dari ajaran Pendiri Bangsa Indonesia ini. Pikiran dan politik sesat merekalah yang masih mendominasi cara fikir bangsa Indonesia ini sendiri tentang menjadi Indonesia. Baik langsung ataupun tak langsung, sadar atau tidak sadar,– telah berkhinanat menjadi kaki tangan kepentingan Imperialisme. Merekalah yang aktif melucuti kedaulatan politik, kemandirian ekonomi dan martabat budaya Indonesia,– sehingga bangsa ini terpuruk seperti saat ini. Sudah waktunya pandangan Soekarno-phobia ini dihapus dari kalangan generasi muda yang akan memimpin Indonesia di masa depan. Saatnya mempelajari dan melaksanakan ajaran Soekarno kembali secara utuh dan menyeluruh.

Bukan suatu kebetulan yang jatuh dari langit, rakyat diseluruh Nusantara yang sedang berlawan melahirkan seorang Soekarno. Ia tumbuh dan dewasa secara politik bersama kaum pelopor lainnya di tengah perlawanan rakyat terhadap kolonialisme Belanda dan fascisme Jepang. Sejarah Bung Karno lekat dengan perjuangan rakyat nusantara menuju ”Bangsa“ baru seperti tercermin dari pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945. Belanda masuk ke Indonesia diawali dari penggabungan enam perusahaan dagang Verenigde Oostindie Compagnie (VOC) pada 20 Maret 1602, yang bertujuan untuk menghadapi pesaing ekonomi  yaitu Spanyol dan Portugis dalam menguasai jalur perdagangan rempah-rempah di kepulauan nusantara. VOC mendapat hak-hak istimewa (octrooi) dari Kerajaan Belanda, berupa hak  monopoli perdagangan, memiliki mata uang, mewakili pemerintah Belanda di Asia, mengadakan pemerintahan sendiri, mengadakan perjanjian dengan penguasa-penguasa lokal, menjalankan kekuasaan kehakiman, memungut pajak, memiliki angkatan perang, dan menyatakan perang, persis seperti ‘Negara dalam Negara’.

Pada tahun 1799 VOC mengalami kebangkrutan akibat korupsi yang kronis. Padahal wilayah Hindia Timur merupakan wilayah terluas dan terpenting bagi operasi VOC, sehingga tidak heran VOC di Asia tunduk pada Gubernur Jendral di Batavia. Jadi hanya beberapa puluh tahun saja Negara Belanda menjajah rakyat Nusantara, selebihnya di jajah oleh serikat dagang Belanda.

Strategi dagang VOC di mulai dari perdagangan dan berakhir pada campur tangan politik dalam konflik-konflik yang terjadi pada kekuasaan Kerajaan Belanda di Nusantara. Rempah-rempah merupakan berkah dan bencana bagi Hindia belanda. Rakyat Nusantara terbunuh, dibantai dan terusir dari tanah airnya. Rempah-rempah juga melahirkan polarisasi kelas beserta sub-kelas terjadi di Nusantara. Selain itu, rempah rempah dan komoditi internasional yang laku di pasar internasional, telah membawa merkantilisme (kapitalisme primitif) masuk ke Nusantara menjadikan wilayah ini masuk dalam sub-sistem ekonomi kapitalisme global. Zaman baru telah lahir  dengan segala konsekwensi dan dampak pada bidang  sosial,  ekonomi dan politiknya.

Konsekwensi  dan dampak ekonomi, sosial dan politik yang terjadi pada wilayah dan rakyat nusantara dalam era baru yang membawa sistem ekonomi kapitalisme merkantilisme pada saat itu adalah lahirnya kelas buruh, yaitu  rakyat nusantara dan kelas pemilik modal yang bergabung dalam VOC.  Dua Kelas yang tidak pernah ada pada era sebelumnya berdampak pada sistem ekonomi yang melahirkan penghisapan, penindasan dan sekaligus represi pada semua suku, agama, ras dan aliran yang ada dan dimiliki oleh rakyat nusantara. Kesatuan kelas penindasan yang dilakukan oleh VOC melahirkan ‘psikologi bersama’ sebagai kelas tertindas diseluruh wilayah Nusantara.  yang kemudian. Psikologi rakyat sebagai kelas yang  ditindas inilah yang melahirkan mimpi yang sama, yaitu sama-sama ingin merdeka dari kelas penindasan kolonial Belanda.

Satu Perasaan Bersama

Dalam sejarah inilah dapat kita pahami makna kata dari pidato Soekarno di awal sambutannya pada 1 Juni 1945 di depan sidang Anggota Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai). Mewakili perasaan seluruh rakyat Indonesia, Soekarno mengatakan :

Philosofische grondslag itulah pondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi”

Dengan kata lain Bung Karno mengatakan bahwa keinginan merdeka merupakan hasrat yang sedalam-dalamnya dari rakyat Nusantara akibat dari penindasan yang dilakukan oleh Belanda. Keinginan tersebut telah menjadi mimpi, cita-cita dan hasrat bersama selama beratus abad sebelumnya.

Soekarno  sangat memahami hasrat dan cita cita terdalam rakyat nusantara tentang keinginan merdeka. Bahwa dengan kemerdekaan maka keinginan rakyat untuk sejahetra dapat terwujud. Soekarno mengatakan :

“Di dalam Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud saya dengan perkataan “jembatan”. Di seberang jembatan, jembatan emas, inilah, baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia Merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi”

Dalam era baru kolonialisme tersebut, sistem ekonomi kapitalisme merkantilisme juga berdampak pada  penyatuan wilayah dalam satu ekonomi dan politik yang tersentralisir. Sehingga berdampak pada interaksi rakyat dalam bidang ekonomi, politik dan bahasa yaitu bahasa Indonesia sebagai bahasa perdagangan secara massif,–menjadi point penting cikal bakal yang berproses menuju suatu “Bangsa Baru”, yaitu Bangsa Indonesia.

Tanpa sadar, kolonialisme VOC Belanda menjadi jembatan bagi lahirnya bangsa Indonesia. Kapitalisme telah menciptakan syarat bagi proses rakyat di Nusantara untuk menjadi bangsa, berkuasa di tanah airnya sendiri. Gerakan perjuangan rakyat nusantara menuju Indonesia merdeka melahirkan budaya baru, mental baru, semangat baru dan bentuk perjuangan baru. Kenapa demikian, karena ruh, semangat, budaya dan bentuk perjuangan rakyat nusantara sudah bersifat nasional, bukan lagi kedaerahan. Karena bentuk politik yang dicita-citakan bukan lagi pemerintahan feodal, tetapi  Negara moderen yang menghilangkan bentuk-bentuk pejajahan dan perbudakan kolonialisme, serta budaya baru,–yaitu budaya rakyat yang anti penindasan, sastra baru,–yaitu sastra yang anti penindasan, mental  baru,– yaitu mental yang anti kolonial, bahasa baru,– yaitu bahasa yang lepas dari etika dan nuansa feodal kolonial.

Melalui penelusuran sejarah di atas, kita diajak untuk paham dan sadar bahwa  pidato bung Karno 1 Juni 1945 merupakan konsep, cita-cita, ruh dan hasrat rakyat di Nusantara yang sedang berproses menuju bangsa Indonesia ke depan, yaitu Kebangsaan Indonesia,  Internasionalisme atau perikemanusiaan, Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan sosial dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa.

Tetapi yang harus di ingat, proses perkembangan suatu Bangsa atau rasa kebangsaan tidak bersifat statis atau selesai. Dia bersifat dinamis, tergantung unsur-unsur dan syarat pembentukan “Bangsa” atau Nation tersebut menguat atau justru menghilang sama sekali. Karena syarat suatu rakyat dalam satu wilayah dikatakan menjadi Bangsa tidak bisa hanya sebatas satu wilayah dan ekonomi yang tersentralisir, satu bahasa tanpa ada psikologi bersama atau sebaliknya. Syarat-syarat diatas merupakan satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan.

Nasionalisme Baru

Untuk itu, pengalaman rezim Orde Baru dan pemerintahan Megawati Soekarnoputri yang mencoba menyatukan dan mengkonsolidasikan rasa kebangsaan Indonesia melalui todongan senjata dan represi terhadap rakyatnya,– justru melahirkan nasionalisme baru di wilayah-wilayah Indonesia seperti Aceh dan Papua. Karena politik todongan senjata, represi dan berbagai bentuk manipulasi penindasan justru bertentangan dengan dasar-dasar pembentukan Bangsa Indonesia yang disampaikan oleh Bung Karno pada Pidato 1 Juni 1945 itu.

Penyimpangan politik yang akhirnya bertentangan dengan Pidato 1 Juni 1945rakyat oleh rezim-rezim pasca Soekarno melahirkan perasaan yang berbeda di hati rakyat terutama yang di daerah. Jauh berbeda dari perasaan seluruh rakyat nusantara pada waktu Republik Indonesia ini akan lahir.

Soekarno tentu saja ingin menuntaskan perjuangan besar yang dilalui  rakyat seluruh rakyat di Nusantara, dari perlawanan melawan kolonialisme, revolusi yang mengantarkan Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 menjadi satu bangsa atau Nation dengan membentuk negara yang bernama Republik Indonesia. Seperti rencana Soekarno, “Di seberang jembatan, jembatan emas, inilah, baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia Merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi”

Jadi tugas dari negara Republik Indonesia sudah terpatri dalam setiap relung sejarah pembentukan bangsa Indonesia yang terdiri dari seluruh rakyat Nusantara secara jelas tanpa perlu diulang-ulang lagi. Siapapun pelanjut dari Soekarno yang memegang kendali negara memiliki tugas untuk menyelesaikan misi menyusun masyarakat Indonesia Merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi.

Berbagai perlawanan rakyat di daerah Aceh dan Papua bahkan Timor-timur sekalipun tidak akan muncul jika ada konsistensi historis dari Pidato 1 Juni 1945 pada setiap rezim yang melanjutkan pemeritahan Republik Indonesia. Namun yang terjadi dan dihadapi oleh rakyat Nusantara terutama di daerah-daerah konflik seperti Aceh, Papua dan dulunya Timor-timur, justru pengkhianatan terhadap Pidato 1 Juni 1945 dan Pengkhianatan pada Pancasila yang menjadi ruh dari Pidato 1 Juni 1945 itu sendiri.

Rakyat di Papua, Aceh dan dulu Timor-timur bisa bersaksi bagai mana perlakuan setiap rezim sehari-hari,–berbeda jauh dari politik kolonialisme Belanda sebelum Kemerdekaan.  Sampai akibatnya, rakyat Timor-timur dibawah pimpinan Kay Rala Xanana Gusmao berhasil memerdekakan diri mendirikan sebuah negara sendiri bernama Republik Demokratic of Timor Leste (RDTL).

Tugas Jokowi

Sudahlah! Rakyat di daerah-daerah, khususnya di Aceh dan Papua yang saat ini masih mencoba berpegang teguh pada Pidato 1 Juni 1945 sebagai alasan dasar menjadi satu Bangsa Indonesia,–tidak bisa menunggu terlalu lama,–satu konsolidasi nasional untuk kembali pada cita-cita kemerdekaan Indonesia. Sejarah pembentukan Bangsa Indonesia ini merupakan pengalaman penting bagi rezim Joko Widodo untuk mengkongkritkan pemerataan kesejahteraan sampai keujung-ujung daerah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Saat ini pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) harus bisa mengelola keberagaman rakyat Indonesia menjadi modal bagi proses bangsa Indonesia yang semakin solid dan tak tergerus oleh waktu. Joko Widodo harus bisa mengembalikan satu perasaan seluruh rakyat Indonesia,–seperti menjelang kemerdekaan 1945 dulu. Jangan sampai kebijakan ekonomi dan politik rezim Joko Widodo mengulangi penyimpangan lama dari rezim-rezim sebelumnya,– yang justru memprovokasi rakyat untuk melahirkan perlawanan daerah untuk menjadi bangsa dan negara baru, berpisah dari Republik Indonesia.

Memang tidak mudah bagi Presiden Joko Widodo menghadapi negara dan bangsa yang sedang dalam keadaan darurat seperti saat ini. Joko Widodo membutuhkan sebuah tim yang tulus dan solid untuk memimpin pemerintahan agar Bahterah NKRI ini kembali ke arah yang benar. Namun yang terpenting dari semua itu, Presiden Joko Widodo dan tim nya harus segera membangunkan dan mengaktifkan massa rakyat untuk menjalankan politik Trisakti Bung Karno. Karena tanpa keterlibatan rakyat, tidak satu inchi pun kemajuan bisa dilakukan. Ayo kembali ke Jalan Bung Karno!

*Penulis adalah Koordinator Forum Aktivis ‘98, Ketua DPW Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) Sumatera Utara. Tinggal di Medan, Sumatera Utara

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru