JAKARTA – Deputi Komisi Pencegahan dan Pengawasan Pemberantasan Korupsi atau KPK , Pahala Nainggolan mengatakan adanya ketimpangan anggaran pendidikan antara Perguruan Tinggi Kementerian Lain (PTKL) dengan Perguruan Tinggi Negeri ( PTN ). PTKL mendapatkan dana lebih besar dibandingkan PTN.
PTKL mendapat dana Rp 32,859 triliun, sedangkan anggaran untuk PTN hanya dialokasikan Rp 7 triliun. Dengan jumlah Rp 7 triuliun itu harus dibagi untuk lebih dari 100 kampus negeri yang berada di bawah dinaungan Kementerian Pendidikan.
Adapun perguruan tinggi di Indonesia terbagi menjadi tiga yakni PTN yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) yang dikelola oleh Kementerian Agama (Kemenag), dan PTKL atau lembaga pemerintah nonkementerian yang tidak dikelola oleh Kemendikbud dan Kemenag. PTKL sendiri terdiri dari dua jenis yaitu kedinasan dan nonkedinasan.
Pahala mengatakan, ketimpangan itu karena PTKL tidak mengikuti Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Perguruan Tinggi oleh Kementerian Lain dan Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK).
Namun, sebelum lahirnya PP itu, KPK pernah meminta program studi PTKL kedinasan yang sama dengan program studi PTN dihapus. Ia mencontohkan program studi sekolah kedinasan Politeknik Statistika STIS yang ada di bawah naungan BPS. Program studi ini juga ada di Universitas Indonesia.
Pahala mengatakan, PTKL kedinasan bertujuan mencetak lulusan utuk menjadi pegawai atau PNS di kementerian/lembaga yang menyelenggarakan PTKL. Namun, menurut Pahala, bila ingin menyiapkan PNS, lebih baik bekerja sama dengan PTN yang memiliki prodi serupa.
“Misalnya STIS, kan ada jurusan statistik di UI. Pindahin aja langsung kalau mereka mau lulusan PNS tinggal pesen aja ke UI. Gua mau 100 PSN terbaik ke gua. Kan bisa aja,” kata Pahala.
Pahala mengatakan, saran itu tidak diterima kementerian dan lembaga di luar Kemendikbudrisrek dan Kemenag. Kemudian lahir PP 57/2022. PP ini menjelaskaan PTKL bisa menyelenggarakan sekolah kedinasan dan nonkedinasan.
Pasal 5 menyebutkan program studi harus dibuat berdasarkan program prioritas masing-masing kementerian/lembaga lain (LPNK). Program studi juga harus bersifat teknis dan spesifik. Program studi tidak boleh timpang tumpang tindih dengan program studi PTN.
Lalu, pada pasal 15 ayat 2 menjelaskan, pembiayaan PTKL kedinasan tidak termasuk 20 persen anggaran pendidikan dari APBN. Sedangkan pembiayaan nonkedinasan PTKL harus berdasarkan standar biaya pendidikan yang ditetapkan oleh Menteri lain.
Namun, Pahala mengatakan, PP 57/2022 itu tidak dijalankan. Masih banyak program studi PTKL yang sama dengan milik PTN.
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan selain itu, dalam penetapan standar biaya pendidikan misalnya, PTKL nonkedinasan tidak mengacu pada Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi atau SSBOPT yang ditetapkan Mendikbudristek. Mereka menetapkan perhitungan standar biaya pendidikan sendiri sehingga tarifnya menjadi tinggi.
“Mahal karena pakai asrama, pakai seragam juga. Ini saking pembohongnya karena tidak ada yang mengawasi,” kata Pahala. (Calvin G. Eben-Haezer)