JAKARTA – Ketua Mahkamah Agung (MA) Sunarto menyindir para hakim yang mengenakan barang-barang mewah. Anggota Komisi III DPR Jazilul Fawaid setuju karena menurutnya pernyataan itu dikeluarkan berdasarkan fakta.
“Kami setuju, tentu Ketua MA menyampaikan statement berdasar pengamatannya atas perilaku sebagian mereka yang suka pamer barang mewah,” kata Jazilul kepada wartawan, Sabtu (23/5/2025).
Jazilul berharap budaya saling mengingatkan akan terus ada. Jazilul menegaskan bahwa budaya malu itu tetap harus dibudayakan.
“Kami berharap budaya saling mengingatkan jika ada yang berperilaku hedonis. Ya budaya malu,” katanya.
Ketua Mahkamah Agung Sunarto diketahui menyinggung para hakim yang mengenakan barang-barang mewah. Menurutnya, para hakim harusnya malu.
“Tidak malu, gajinya Rp 27 juta, Rp 23 juta, pakai LV, pakai Bally, pakai Porsche, nggak malu? Orang melihat gajinya segitu, pakai LV, LV berapa? Sepatu Bally berapa? Rp 30 juta. Arlojinya Rp 1 M, Kok nggak malu?” ungkap Sunarto dalam kegiatan pembinaan yang dilaksanakan di kantor MA RI, Jakarta Pusat, Jumat (23/5).
Sunarto mengatakan sebetulnya tidak mempermasalahkan gaya masing-masing para hakim. Hanya, dia bertanya-tanya apakah para hakim tidak takut pada Tuhan ketika menggunakan barang mewah pakai uang hasil olah perkara.
“Ya, kalau nggak malu, apa tidak takut sama Tuhan? Minimal takut sama wartawan. Difoto arlojinya Rp 1 M apa tidak malu Saudara-saudara?” ujar Sunarto.
“Kecuali dapat warisan. Kalau di Amerika menang lotre. Di Indonesia sudah nggak ada undian harapan, mimpi, ya,” kata dia.
Pelayanan Transaksional
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Ketua Mahkamah Agung Sunarto secara tegas menyerukan penghentian segala bentuk pelayanan transaksional dalam proses peradilan.
“Hentikan pelayanan transaksional sekarang juga. Kalau masih ada di antara kalian yang melakukannya, laporkan saja,” kata Sunarto.
“Saya tidak main-main. Saya sama sekali tidak menolerir jika masih ada yang melakukan perbuatan paling nista tersebut,” katanya.
Ia juga mengajak para hakim hidup sederhana dan menjauhi gaya hidup hedonis, sebagai bagian dari integritas aparatur peradilan. Sunarto menegaskan peradilan Jakarta merupakan etalase peradilan nasional.
“Namanya juga etalase, gerak gerik kita akan terlihat, akan mudah sekali dinilai. Kepercayaan publik adalah sumber kekuasaan kehakiman. Tanpa kepercayaan, putusan kita hanya akan menjadi teks hukum yang tidak bermakna bagi masyarakat,” ucapnya.
Ia juga memberikan peringatan keras kepada hakim-hakim yang tidak mampu menjaga integritas agar segera mengundurkan diri. Ini demi menjaga muruah dan perjuangan MA dalam mewujudkan badan peradilan yang agung dan bersih.
Ketua MA juga menekankan pentingnya reformasi sistem promosi jabatan di lingkungan peradilan. Ia menegaskan promosi tidak boleh hanya mengandalkan senioritas, tetapi harus didasarkan pada kapabilitas dan integritas.
Akan Telusuri Aset Setiap Hakim
Ketua Mahkamah Agung (MA), Sunarto, mengakui kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan semakin menurun, akibat maraknya praktik korupsi.
Dalam upaya menekan angka korupsi di lingkungan lembaga peradilan, MA akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) milik seluruh hakim, termasuk hakim ad hoc.
Langkah ini dilakukan sebagai bentuk keseriusan MA dalam membenahi integritas internal lembaga yudikatif.
“Kita akan mulai membenahi dari badan peradilan. Kami tidak akan menunggu undang-undang berapasan aset. Kami akan mengevaluasi harta Bapak Ibu sekalian, karena KPK sudah mengizinkan Badan Pengawasan Mahkamah Agung untuk mengevaluasi laporan LHKPN,” kata Sunarto.
Ia menekankan, ketidakjujuran dalam pelaporan harta kekayaan tidak akan ditoleransi. Menurutnya, jika ditemukan ada harta yang tidak dilaporkan, maka akan ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.
“Kalau saudara tidak jujur, ada rumah tidak dilaporkan, Badan Pengawasan dan aparat penegak hukum tahu, silakan, agar diusut,” tegasnya.
Sunarto juga menyampaikan keprihatinan khusus terhadap sejumlah hakim ad hoc yang terlibat dalam praktik tercela. Ia menilai, keberadaan hakim ad hoc yang awalnya dibentuk untuk memperkuat kepercayaan publik pasca-reformasi, justru dalam beberapa kasus menjadi bagian dari masalah.
“Saya merasa prihatin terutama kepada para hakim ad hoc. Keberadaan Hakim ad hoc itu untuk menutup celah saat di orde reformasi. Namun nyatanya yang seharusnya membantu menjadi stabilisator, malah terjadi penyalahgunaan jabatan. Kalau pelakunya justru hakim ad hoc, terus apa perlunya lagi hakim ad hoc?” cetus Sunarto.
Sunarto menyebut, pelanggaran oleh hakim ad hoc telah terjadi di berbagai kota, seperti Bandung, Semarang, Medan, dan Jakarta. Ia menegaskan pentingnya menjaga marwah lembaga peradilan.
Langkah tegas ini diharapkan menjadi titik balik dalam memperkuat integritas dan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan di Indonesia.
“Tolong, saya titip amanah kepada seluruh hakim ad hoc, tinggalkan transaksi-transaksi yang dapat menodai, mencoreng, mengganggu wibawa, kehormatan, dan martabat badan peradilan,” imbuhnya. (Web Warouw)