Kamis, 12 September 2024

Menjadi Negara “Apa Boleh Buat”

Yusril Ihza Mahendra

Negara ini kini saya sebut sebagai “Negara Apa Boleh Buat” karena sistemnya tidak mampu menangkal kebuntuan konstitusional, bila itu terjadi.

 

Sistem kita Presidensial. Walau tidak disebut tegas dsalam UUD 1945, namun dapat dipahami bahwa Presiden adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Presiden memegang jabatan selama 5 tahun, dan sesudah itu dapat dipilih lagi maksimum 1 periode.             

Jabatan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) periode kedua akan berakhir 20 Oktober nanti. DPR, DPD dan MPR akan berakhir lebih awal 1 Oktober .Kalau masa bakti anggota DPR, DPD, MPR berakhir 1 Oktober nanti dan tidak dilantik yg baru, maka akan terjadi kevakuman 3 lembaga negara. Demikian juga jika 20 Oktober nanti tidak dilantik Presiden/Wakil Presiden baru, maka akan terjadi kevakuman kekuasaan pemerintahan negara. Kalau masa bakti DPR, DPD, MPR berakhir dan masa jabatan Presiden dan Wapres habis, tidak ada yang berwenang memperpanjangnya.               

Berbeda dengan sistem parlementer, kalau Perdana Menteri (PM) mundur atau jatuh, parlemen bisa membentuk pemerintah sementara sampai selesai Pemilu baru. Raja, Ratu atau Presiden Konstitusional bisa mengesahkan PM sementara untuk memimpin pemerintahan transisi.

Di zaman Orla dan awal Orba, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) bisa berfungsi sebagai MPR sesungguhnya. MPRS bisa tunjuk Pejabat Presiden, bahkan memilih Prsesiden. Sekarang, setelah amandemen UUD 45, semua itu tidak bisa lagi. Masa jabatan berakhir tepat waktu, dan harus diganti tepat waktu pul.a Akibat dari semua itulah, maka saya katakan negara kita sekarang ini adalah “Negara Apa Boleh Buat”

Istilah itu saya pinjam dari sahabat saya Tan Sri Ahmad Johan, seorang pengusaha penerbangan asal Malaysia. Dia bilang pada saya, kalau istri ada satu, jangan buat jadi dua. Tapi kalau sudah ada dua “Apa Boleh Buaaaat” katanya terkekeh-kekeh.                                   

 

Pemilu Terburuk

Bagi saya, lepas orang lain setuju atau tidak, Pemilu Legislatif 2014 ini adalah pemilu terburuk sepanjang sejarah reformasi. Sogok menyogok terjadi dimana-mana. Untuk dapat kursi, partai dan calegnya harus keluarkan uang ratusan milyar. Calon pemimpin menyogok rakyatnya agar memilih.

Sebagian rakyat juga minta disogok agar memilih sang calon pemimpin. Dugaan saya, kalau sudah terpilih, para anggota dewan inipun dengan mudah akan disogok pula. Sogok-menyogok makin gila. Semua dengan uang.

Partai dan calegpun saling kanibal di daerah-daerah. Suara pemilih dijualbelikan, kongkalikong dengan anggota Komsi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Kalau mau dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK), sampai kapanpun MK takkan sanggup menanganinya, karena yang dibawa ke MK adalah kasus demi kasus. MK kita tidak berwenang menyatakan Pemilu batal karena melanggar konstitusi dan UU akibat curang dan politik uang.

MK kita beda dengan MK Thailand yang bisa menyatakan hasil Pemilu batal seluruhnya, sehingga pemerintah demosioner jalan terus.  MK kita tidak bisa. Betapapun bobroknya Pileg, DPR, DPD dan MPR harus dilantik 1 Oktober. Kalau tidak, akan terjadi kevakuman kekuasaan.

Betapapun rusaknya moral politisi kita yg mendapatkan kursi legislatif  walau bergelimang sogok, mereka tetap harus dilantik. Mengapa harus dilantik? Jawabannya “Apa Boleh Buat”. Kalau tidak dilantik akan terjadi kevakuman kekuasaaan.

Kini partai-partai yang ikut pileg dengan segala kecurangan itu sudah mencalonkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden, Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta.  Koq keduanya bisa berpasangan? Jawabannya ya “Apa Boleh Buat” juga.           

 

Kevakuman Pemerintahan

MK sudah nyatakan bahwa Pileg dan Pilpres dipisah itu bertentangan dengan UUD 45. Bertentangan itu artinya “inkonstitusional”.  Tapi MK bilang, itu baru berlaku tahun 2019. Jadi Pilpres sekarang ini inkonstitusional? Jawabnya “ya”, tapi“Apa Boleh Buat”. Kalau tidak dilaksanakan Pilpres, akan terjadi kevakuman pemerintahan negara. Jadi ya “Apa Boleh Buat”.                                     

MK nyatakan diri tak berwenang memutus permohonan saya untuk menafsirkan Pasal 6 ayat 2 UUD 45 bahwa partai atau gabungan partai peserta Pemilu mencalonkan pasangan Presiden dan Wapres sebelum pileg dilaksanakan.                 

Akibatnya, pencalonan baru dilakukan setelah pileg, agar tahu treshold 20 persen kursi atau 25 persen suara sah. Akibatnya lagi, partai-partai terpaksa harus “berkoalisi” mengajukan capres cawapres. Padahal koalisi tak dikenal dalam sistem Presidensial.

Untuk membangun “koalisi” itu alotnya bukan main. Tawar menawar atau dagang sapi atau koe handel bahasa belandanya, pasti terjadi. Akhirnya muncullah koalisi PDIP dan kawan-kawan yang memunculkan Jokowi-JK dan Koalisi Gerindra dan kawan-kawan yang memunculkan Prabowo Hatta.

Koq bisa muncul “koalisi” seperti ini dengan pasangan capres dan cawapres seperti ini? Jawabannya ya “Apa Boleh Buat” lagi.

Jawaban apa boleh buat muncul lagi karena waktu mepet, jadi apa boleh buat. Presiden dan Wapres terpilih nanti akan alot menyusun kabinet karena desakan partai-partai untuk dapat jatah.

 

Rebutan Jatah

Saling sikut antar partai koalisi, bahkan antar teman separtai memperebutkan jatah kabinet pasti akan terjadi. Ahirnya karena waktu mepet, kabinet harus segera diumumkan, maka Presiden dan Wapres adalah orang pertama yang tak puas dengan kabinetnya.

Kalau ditanya Presiden dan Wapres terpilih nanti “kok kabinetnya kayak gini, Boss?”. Jawabnya ya pasti “Apa Boleh Buat” partai-partai  ngotot.

Maka anggota DPR, DPD, MPR, Presiden dan Wakil Presiden serta menteri kabinet yang dilantik nanti, semua-semua adalah orang-orang “Apa Boleh Buat”.

Kalau negara dipimpin orang-orang yang “Apa Boleh Buat”, maka apa yang dapat mereka perbuat untuk memperbaiki bangsa dan negara ini?.             

Kalau pertanyaan tadi ditujukan kepada Pak Jokowi, apakah jawabannya “rapopo” juga? Waduh! “Raisopopo yo rapopo to?(Tidak bisa berbuat apa-apa, ya tidak apa-apakan?) Salam saya dari Manila,Pilipina.

*Penulis adalah Mantan Menteri Sekretaris Negara, Menteri Hukum dan Perundang-undangan

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru