Senin, 9 Desember 2024

Merindukan Gus Dur : Memperbaiki Kepribadian Bangsa dan Relasi Agama-Negara (1)

Oleh: Ubaidillah Achmad*

Sebelum menyampaikan hasil pembacaan hermeneutika terhadap pemikiran Gus Dur, perlu ditegaskan alasan perlunya kajian ini. Perlunya kajian terhadap pemikiran Gus Dur, karena kehadiran Gus Dur sangat penting dalam memberikan pencerahan bagi umat Islam dan bangsa Indonesia. 

Banyak yang memperkirakan, bahwa tanpa kehadiran Gus Dur bagaimana mendapatkan benang merah relasi agama dan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Selain itu, kehadiran Gus Dur, juga memberikan benang merah relasi keberadaan seseorang sebagai umat Islam dan sebagai warga negara, memberikan benang merah antara muslim dan non muslim, mendudukkan fungsi Ulama dan Umara dalam bingkai NKRI.

Persoalan kebangsaan dan kewarganegaraan yang sulit dan tidak terbayangkan oleh masyarakat Indonesia pun dengan tegas berhasil diurai oleh Gus Dur. Misalnya, kasus dari tahun ke tahun tentang persoalan kesalahpahaman antara sesama warga negara yang sama sama berhak atas keadilan di muka hukum. Kasus stigma warga negara kedua dan warga negara ke satu, kasus adanya stigma minoritas di mata mayoritas, kasus muslim dan non muslim, kasus pribumi dan non pribumi, kasus korban kebijakan politik orde baru yang melibatkan aktivis kemanusiaan juga telah mendapatkan kesempatan dan hak yang sama di zaman pencerahan Gus Dur.

Selain itu, Gus Dur juga dengan berani mengurai tema sakral pada masa pemerintahan Orde Baru, yang meskipun di beberapa perguruan tingga manjadi kajian filsafat dan sosiologi, namun masih sangat riskan dibicarakan di tengah masyarakat, yaitu pembahasan tentang paradigma ideologi kiri di Indonesia. Sehubungan dengan tema ini, Gus Dur berhasil mempertanggungjawabkam secara akademik.

Dalam ulasannya, Gus Dur menunjukkan sikap akademik yang bebas dan mencerahkan, yang seolah olah ingin menegaskan, bahwa sebagai pengikut jejak kenabian, umat Islam perlu bersikap terbuka terhadap kearifan lokal dan bersedia berdialog dengan ideologi ideologi besar dunia, baik ideologi kiri yang ingin menjaga jarak dengan sistem kekuasaan maupun ideologi kanan yang selalu memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan kehendak kuasa dan kuasa kapital. Dengan demikian, agama kenabian semakin besar di tengah perkembangan zaman dan umat beragama benar benar bersikap terbuka berdialog dengan ideologi dunia.

Gerakan pemikiran Gus Dur ini, bukan tanpa alasan, sebab kebebasan beragama adalah hak sipil setiap individu yang sudah diatur dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal ini dijamin oleh UUD 1945, UU No.39/1999 tentang HAM, UUNO.26/2000 tentang Pengadilan HAM dan berbagai peraturan pemerintah yang lain.

Bagaimana tema pencerahan Gus Dur yang elok tersebut dalam konteks era sekarang? Jika tema pencerahan Gus Dur yang elok dikaitkan dengan era sekarang, justru kembali menjadi persoalan yang mengancam keberagamaan yang sudah mengakar di tengah masyarakat luas dan mengancam  model pribumiaasi Islam ala Walisongo dan model dinamisasi Islam perspektif Gus Dur. 

Beberapa bukti fenomena yang menandai ancaman toleransi bagi keberagamaan dan keragaman bangsa, misalnya, adanya kebebasan beragama di Indonesia yang masih jauh dari perlindungan berbagai pasal yang diundangkan. Hal ini dapat dibaca pada beberapa kasus, seperti pembakaran rumah penganut Syiah di Sampang, penyerangan penganut Ahmadiyah di Banten dan pelarangan pembangunan gereja HKBP Philadelpia di Bekasi. 

Sehubungan dengan insiden-insiden itu telah menunjukkan praktik kehidupan sosial agama di Indonesia yang diharapkan dapat berjalan damai dan toleran, namun setelah kepergian guru bangsa yang sudah menjadi teks emas studi ilmu keislaman, telah terabaikan para tokoh agama Islam dan beberapa Kiai. Contoh, jika zaman Gus Dur tidak ada kiai yang terlibat dalam aksi FPI atas nama Islam untuk mengintervensi kerja pemerintah terhadap kasus Pak Ahok, bahkan sekarang ini sudah ada beberapa Kiai yang mengikuti aksi politis atas nama Islam.

Sekarang ini, juga terjadi relasi semu antara keberagamaan dan kewarganegaraan. Kritik terhadap kebijakan pemerintah, seharusnya dilakukan individu atau masyarakat atas nama warga negara, bukan dilakukan individu atau masyarakat atas nama umat beragama. Umat beragama harusnya berbicara ajaran agama kepada umatnya. Jika ingin berbicara ajaran agama kepada masyarakat luas, bisa dilakukan dengan menyampaikan prinsip agama yang membebaskan dan mencerahkan umat manusia tanpa pandang bulu. 

Dalam konteks kenegaraan, umat beragama bisa menguatkan nilai nilai keutamaan dan kebaikan kepada pemerintah. Umat beragama, juga bisa menguatkan nilai keutamaan yang terkandung pada prinsip ideologis dan falsafah negara, yaitu ideologi pancasila.

Sebagai contoh, adanya fenomena yang mengerikan dilakukan oleh umat Islam yang secara terus terang mengintervensi kerja pemerintah bukan mengatasnamakan sebagai warga negara, namun mengatasnamakan sebagai gerakan umat Islam menuntut, agar Pak Ahok diseret ke penjara. Jika model keberagamaan ini tidak segera diredam, maka agama akan menjadi simbolisme kerja pemerintah. Hal ini, tentu saja akan mengganggu kerja pemerintah. 

Dalam konteks ini umat Islam, telah melakulan dua kesalahan: pertama, kesalahan mencampuradukkan prinsip agama dengan tuntutan politik. Kedua, membenturkan umat beragama dan ulama pada sistem politik yang seharusnya dilakukan bukan atas nama agama. 

Jika mereka malakukan gerakan politis dengan tema membela Islam dan mejadikan simbolisme Islam untuk alat mengintervensi kerja pemerintah, maka akan mengganggu kerja pemerintah. Selain itu, sebagai tokoh umat Islam, bagaimana bersikap ramah dan memaafkan kepada mereka yang salah memahami Islam atau teks kewahyuan. Bukankah Pak Ahok, juga sudah meminta maaf: mengapa tidak dimaafkan? 

Sehubungan dengan kasus Pak Ahok, terlepas dari bagaimana hasil kajian tim ahli, bukankah umat Islam lebih baik membaca Pak Ahok dari akhlak mulia Nabi Muhammad. Misalnya, Nabi Muhammad sering membiarkan mereka yang mencaci agama wahyu (Islam) di satu sisi, namun di sisi yang lain, Nabi Muhammad selalu gigih membebaskan para budak dan melakukan pencerahan. 

Nabi Muhammad menolak pinta Malaikat yang akan melempar gunung untuk masyarakat arab yang mencaci Nabi, sebaliknya justru Nabi Muhammad memohon kepada Allah, semoga Allah memberikan petunjuk kepada mereka yang belum memahami rahasia tauhid yang melebur dalam konteks kemanusiaan, keadilan dan persamaan. Nabi Muhammad juga memaafkan Da’tsur yang mengancam akan membunuh Nabi yang berulang kali berupaya hendak membunuh Nabi Muhammad. 

Dan masih banyak contoh akhlak mulia Nabi Muhammad, yang dapat disimpulkan, bahwa jika yang dicaci adalah Nabi, kalam wahyu yang diplesetkam masyarakat arab, dan Islam sebagai agama dalam katagori yang diucapkan sesuai dengan nafsu mereka yang melawan Nabi. maka Nabi Muhammad tidak melakukan penghukuman terhadap kejahatan terkait. Bagi Nabi Muhammad yang perlu ditekankan, adalah hanya akan menyempurnakan risalah dengan berbagai resiko yang menghambat pembebasan dan pencerahan.

Dalam konteks keindonesiaan, bukankah sepanjang sejarah Indonesia selalu ada sosok yang menggunakan teks kewahyuan untuk kepentingan politik yang hanya sementara dan sesaat. Dalam konteks kedekatan dengan orang Yahudi, bukankah nabi semasa hidupnya selalu menjaga relasi baik dengan mayarakat Yahudi, Nasrani, dan suku suku yang lain dalam piagam madinah. Bukankah Nabi Muhammad juga menganjurkan sikap yang baik dengan tetangga yang meskipun telah kafir atau mengingkari kebenaran teks wahyu.

Jangankan hanya ungkapan Pak Ahok, diibaratkan cacian mereka yang kafir yang melebihi ungkapan seribu Pak Ahok pun,  pasti akan dimaafkan Nabi Muhammmad jika memohon maaf kepada Nabi Muhammad. Bukankah Nabi Muhammad bertugas untuk mengingatkan dan menyempurnakan akhlak mulia. Di antara akhlak Nabi terhadap mereka yang menentang risalah kenabian, adalah sosok Nabi yang bersikap memaafkan dan memohonkan ampunan dari Allah (fa’fu anhum was taghfirlahum). 

Sikap memaafkan dan memohonkan ampunan ini, juga pernah dilakukan Nabi dengan berdoa,”Allahumma Ihdi qaumi fa innahum laamya’lamun.” Artinya, Ya Maulaya Ya Allah, bukalah hati dengan petunjukMu kepada umatku, (mereka berbuat demikian) karena sesungguhnya mereka belum mengetahui rahasia indah bertauhid dan bersikap manusiawi terhadap sesama umat manusia serta menjaga lingkungan yang lestari. (Bersambung)

 

*Penulis buku Suluk Kiai Cebolek, Islam Geger Kendeng, dan khadim Majlis Kongkow As Suffah Sidorejo Pamotan Rembang, Dosen UIN Walisongo Semarang

 

 

 

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru