JAKARTA- Dalam penegakkan hukum sepatutnya fokus pembahasan pada tindakan pelaku, bukan status ekonomi pelaku. Pengunggahan pornografi dalam media sosial bukan tukang sate. Penyebaran pornografi, bukan bullying. Demikian mantan anggota DPR, Eva Kusuma Sundari kepada Bergelora.com di Jakarta, Jumat (31/10) menanggapi kecaman beberapa pengamat tentang penangkapan polisi pada seseorang yang mencemari nama baik Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Megawati Soekarnoputri lewat media sosial beberapa waktu lalu.
“Sepatutnya pembahasan soal AM tidak dikaburkan bahwa isunya personal presiden tetapi sesungguhnya adalah isu publik tentang komitmen melindungi anak-anak dari bahaya pornografi,” ujarnya.
Ia juga menjelaskan bahwa pelaporan dilakukan sebelum Jokowi menjadi presiden dan tentu bukan wewenang presiden untuk menghentikan proses hukum meski sebagai presiden.
“Karena memang penegakan hukum harus independen bebas dari intervensi eksekutif dan legislatif. Sebagai personal Jokowi akan mengampuni. Tapi kewajiban presiden juga harus menunjukkan komitment negara untuk hadir memberikan perlindungan terhadap anak dan perempuan dari sexual crime,” tegasnya.
Ia menegaskan Jokowi tidak pernah menyoalkan hanya kata-kata fitnah2 seperti difitnah PKI, zionis, boneka dan lainnya. Demikian juga ketika digambarkan sedang memijat Megawati atau digambarkan sebagai bayi dalam gendongan bu Megawati.
“Tapi kasus ini adalah bukan hinaan kata-kata melainkan menyerang personal tapi pidana umum yang melanggar Undang-undang Pornografi dan undang-undang Informasi dan Tehnologi Elektronik,” jelasnya.
Untuk itu menurutnya, pelaku harus mempertanggung jawabkan tindakannya tapi tidak perlu diancam hukuman badan dalam skala maksimal.
“Saatnya sistem pengadilan kita mempraktekkan hukum progresif termasuk hakim memfasilitasi penyelesaian non hukum yaitu secara kekeluargaan demi kemanusiaan. Hukuman bisa berupa pekerjaan sosial di tahanan luar termasuk pelaku mendapatkan bimbingan hukum,” tandas anggota pansus UU Pornografi dari Fraksi PDIP tahun 2004-2014 ini.
Eva juga mengingatkan beberapa kasus perbandingan dimasa pemerintahan SBY yang lalu.
Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pernah mendatangi Mabes Polri melaporkan pencemaran nama baik sehubungan dengan perkawinan pertamanya.
“Jokowi tidak pernah sesensi (sensitif) pak SBY kok. Concernnya ke dampak ke publik, bukan personal,” jelasnya.
Anggota DPR Rieke Dyah Pitakola hamil 6 bulan diperiksa berjam-jam oleh polisi karena statement ‘presiden kok nangisan’
Ada lagi guru sampai dibui karena statement ‘ SBY mental tempe’.
Dua orang aktivis organisasi Bendera dipenjara 6 bulan karena menghina presiden.
Sementara itu pengamat politik anggaran,Uchok Sky khadafi memeprtanyakan mengapa Mabes Polri sangat semangat menangani kasus ini.
“Padahal ini ditangani polisi sangat bikin ketawa publik. Ternyata polisi berani hanya menangani kasus-kasus masyarakat kecil. Tidak berani tuh menangani atau membongkar kasus-kasus korupsi pejabat negara seperti kasus-kasus rekening gendut polri,” ujarnya kepada Bergelora.com.
Jadi menurutnya, polisi kalau hanya mau menangani kasus-kasus orang kecil atau miskin saja, ini menandakan polisi sedang menjilat kekuasaan Jokowi dengan cara menangkap tukang sate atau orang kecil agar menjadi praktek arogansi kekuasaan biar semua rakyat pada takut dengan Jokowi,” jelasnya.
Kalau demikian mau polisi menerunya memang seharusnya Kepolisian RI tidak dibawah Presiden seperti saat ini.
“Saya meminta kepada DPR untuk segera membuat undang-undang kepolisian agar polisi tidak dibawah presiden lagi karena hanya menjadi alat kekuasaan presiden untuk membungkam rakyat kecil saja. Lebih baik dibawah salah satu kementerian saja, agar tidak menjadi alat kekuasaan,” ujarnya.
Ia juga meminta kepada Jokowi segera mencabut laporan kasus yang menjerat si tukang sate di Polisi.
“Kalau Jokowi tidak mencabut laporan ini, sudah benar-benar Jokowi tidak tahu mengucapkan rasa terima kasih buat orang miskin dan susah. Dan hal ini memalukan karen presiden begitu teganya memasukan orang yang tidak punya kekuasaan apa pun dimasukan ke penjara,” tegasnya. (Enrico N. Abdielli)