Rabu, 21 Mei 2025

Siti Rubaidah: Hukum Lemah, Banyak Korban Tutupi Kekerasan Seksual

JAKARTA- Keseriusan DPR untuk membuat undang-undang yang melindungi perempuan dari kekerasan seksual diragukan. Hingga saat ini kaum perempuan tidak terlindungi secara khusus dari tindakan kekerasan seksual. Berbagai kasus kekerasan seksual terungkap dimasyarakat setelah kejadian yang fatal karena lemahnya penegakan hukum diberlakukan.

“Selain yang sudah terungkap, ada banyak kasus kekerasan seksual yang masih ditutupi oleh korban dan masyarakat. Sehingga kekerasan terus berlangsung tanpa bisa disentuh oleh hukum. Untuk itu keseriusan DPR sangat diperlukan,” demikian Siti Rubaidah, dari Organisasi Aksi Perempuan Indonesia (Api)- Kartini kepada Bergelora.com di Jakarta, Minggu (29/1).

Korban menurutnya selalu menghadapi ancaman dan menjadi malu untuk melaporkan tindakan kekerasan yang diterimanya, karena tabu yang ada dimasyarakat terhadap persoalan seksual.

“Pelakunya bisa orang dekat seperti, suami, saudara, orang tua sampai tetangga atau orang yang tidak dikenal. Tapi yang lebih parah masyarakat juga masih pasif bahkan mentabukan untuk dilaporkan,” ujarnya.

Karena tidak ada tindakan hukuman yang setimpal maka kekerasan seksual menurutnya saat ini menjadi fatal dalam bentuk-bentuk ekstrim dan mematikan.

“Kalau dibiarkan maka jumlahnya akan terus meningkat dan tidak bisa  dihentikan. Karena dianggap wajar dan menyalahkan kaum perempuan. Padahal sistim hukum yang gagal,” ujarnya.

Makin Mengerikan

Sebelumnya, Ketua FPKB DPR Ida Fauziah mendesak agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang menjadi inisiatif DPR RI segera dirampungkan dan selanjutnya diserahkan kepada pemerintah. Pemerintah pun menunggu agar RUU itu diserahkan untuk kemudian menerbitkan Amanat Presiden (Ampres) dan selanjutnya membahas bersama DPR RI.

“Kasus kekerasan seksual akhir-akhir ini makin mengerikan. Karena bukan saja anak-anak perempuan itu diperkosa secara bergerombolan, tapi juga nyawanya dihilangkan. Bahkan kelaminnya dimasuki cangkul. Tragis, sadis, kejam dan seperti binatang,” tegas Ida Fauziah ketika membuka diskusi public ‘Indonesia darurat kekerasan seksual – mendorong disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual’ bersama Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPA) Yohana Susana Yambise, anggota Komisi XI DPR RI FPKB Nihayatul Wafiroh, dan Masruhah dari Komnas Perempuan di Gedung DPR RI Jakarta, Rabu (25/1).

Menurut Ida, kini tercatat dalam sehari terdapat 30 perempuan dan anak mengalami kekerasan seksual atau sebanyak 3 anak setiap jamnya menjadi korban.

“Itu mencerminkan bahwa negara ini belum mampu memberikan rasa aman bagi perempuan dan usia rentan anak. Untuk itu FPKB DPR harus segera menyelesaikan RUU ini secara komprehensif. Sehingga negara hadir melalui pelaksanaan RUU ini,” ujarnya.

Apalagi kata Ida, UU terkait yang ada belum memadai. Seperti UU KDRT, UU Perlindungan Anak, dan KUHP hanya mengatur pemidanaannya saja.  Maka RUU ini diharapkan memberikan perlindungan yang utuh dari pencegahan, perlindungan, rehabilitasi, sanksi, dan sebagainya.

Anggota Komisi IX DPR Nihayatul Wafiroh menjelaskan jika RUU ini baru pada tahap harmonisasi dimana tidak semua anggota memahami betul persoalan kekerasan seksual tersebut.

“Minggu depan akan dibawa ke Baleg, dan selanjutnya ke paripurna DPR RI untuk ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR RI. Selanjutnya diserahkan kepada pemerintah, dan insya Allah pada masa sidang 2017 ini selesai,” tambahnya.

Kategori kekerasan seksual itu sendiri menurut Nihayatul antara lain meliputi menghina, merendahkan, melecehkan alat reproduksi, memaksa pernikahan dan sebagainya yang membuat penderitaan seksual kepada perempuan. Sedangkan tujuannya adalah untuk mencegah, menangani, memulihkan, ganti rugi korban, dan rehabilitasi.

Pemerintah sendiri, menurut Mensos Yohana  Susana Yambise sangat memperhatikan masalah kekerasan seksual ini karena makin mengkhawatirkan. Ibarat gunung es, karena masih banyak yang belum melaporkan. “Untung ada masyarakat (LSM) yang membantu melapor ke polisi maupun pemerintah, sehingga sebagian sudah ditangani. Anehnya, para pelaku selama ini sebagian besar akibat memiliki akses pornografi,” ungkapnya.

Karena itu dalam UU No.17 tahun 2016 yang terbukti melakukan kekerasan seksual terhadap anak usia 4 hingga 5 tahun maka pidananya seumur hidup atau hukuman mati. “Jadi, pemerintah menunggu RUU inisiatif DPR RI untuk selanjutnya akan diterbitkan Ampres oleh Presiden RI, dan kemungkinan saya dan Menkumham RI yang akan mendapat tugas untuk membahas ini,” pungkasnya.(Max K. Lasut)

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru