Oleh: Salamuddin DaengĀ
Bisnis migas di Indonesia adalah bisnis yang bernilai ribuan triliun. Pantaslah para sindikat sangat berambisi menguasai sektor migas nasional mulai dari hulu sampai ke hilir dengan cara mendorong kebijakan liberalisasi dan menghilangkan peran negara dalam sektor ini.
Ā
Namun yang pasti muara dari seluruh praktek mafia dalam pengelolaan migas tersebut adalah kebocoran, korupsi dan intervensi kekuasaan, yang menyebabkan berpindahnya kekayaan rakyat ke tangan sindikat dan mafia.Ā
Bayangkan saja transaksi dihulu melibatkan 850 ribu barel minyak per hari atau senilai Rp 1,6 triliun sehari atau sebesar Rp. 387,6 Triliun setahun.Ā
Indonesia melakukan ekspor minyak senilai 455,000 bbl/d dengan nilai transaksi mencapai Rp 207,5 Triliun setahun.
Selanjutnya Impor minyak Indonesia mencapai 506,000 bbl/d dengan nilai transaksi sebesar Rp. 230,7 triliun setahun (survey EIA 2013). Sementara data BPS nilai impor minyak 2013 sebesar US $ 42,14 miliar atau Rp. 501,4 triliun.
Sementara itu Pertamina sendiri sebagai BUMN yang diberi hak mengelola minyak menyerahkan kewenangan pada kontraktor swasta. Produksi pertamina sendiri serta usaha-usaha lainnya pertamina memiliki revenue US$ 71,1 miliar atau sekitar Rp 846,1 triliun.Ā
Selain itu negara membiayai cost recovery untuk menggantikan seluruh biaya operasional yang dikeluarkan perusahaan minyak senilai US 16,5 miliar atau sekitar Rp 196,3 triliun.
Selanjutnya nilai produksi gas nasional sebesar mencapai 1,517 juta barel setara minyak per hari (ESDM, 2013) atau senilai Rp 270.6 triliun.Ā
Ditambah dengan nilai ekspor gas nasional senilai US$ 18,129 miliar atau mencapai Rp 220,1 trilun (survey BPS, 2013) dan Impor gas senilai US$ 3,113 miliar atau sekitar Rp 37,24 triliun. (sumber survey BPS).
Selanjutnya nilai perdagangan BBM di Indonesia baik untuk kebutuhan industri, transportasi dan rumah tangga, baik yang bersubsidi maupun tidak bersubsidi mencapai Rp 286,7 trilun yang terdiri dari konsumsi premium dan solar.
Dari data-data tersebut secara garis besar transaksi dalam migas oleh berbagai level dan pelaku yang bermain dalam industri ini sedikitnya senilai Rp 2.700 triliun.Ā
Fragmentasi dalam pengeloaan migas yang terpecah dari hulu sampai ke hilir telah menjadi ruang bagi bermainnya kartel, sindikat dan mafia.Ā
Penciptaan ruang bagi para sindikat dan mafia dilakukan oleh pemerintah dan DPR yang sebagian diantara mereka terlibat secara langsung dan tidak langsung dalam industri migas.Ā
Para pengambil kebijakan cenderung secara terus menerus memproduksi kebijakan dalam rangka memaksimalkan profit yang dapat diperoleh oleh sindikat sindikat dalam pengelolaan migas.
Para kontraktor swasta dapat melakukan berbagai macam upaya dalam memanipulasi produksi, dana cost recovery dalam rangka memaksimalkan penerimaan mereka.Ā
Lemahnya kontrol negara menyebabkan perusahaan perusahaan swasta dapat dengan sangat ekslusif menjalankan bisnis mereka dan jauh dari kontrol masyarakat.Ā
Sementara aparat negara mulai dari yang berada pada institusi penyelenggara migas, hingga aparat penegak hukum cenderung menjadikan seluruh pelanggaran, kecurangan, manipulasi. Pelanggaran hukum dilakukan kontraktor dan pelaku usaha migas mulai dari hulu sampai ke hilir sebagai ajang pemerasan.
Sementara rakyat secara terus menerus harus membayar mahal harga minyak dan gas yang semakin tinggi. Harga tersebut adalah harga atas hilangnya kedaualatan rakyat atas kekayaan alam dan harga atas penyerahan diri pada kekuasaan para mafia dan sindikat yang mengontrol politik dan pemerintahan.
*Penulis adalah Ketua Asosiasi Ekonomi-Politik Indonesia (AEPI) Jakarta