JAKARTA- Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) meminta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan pemerintah mengubah regulasi yang selama ini sifatnya diskriminatif antara rumah sakit tipe A dengan tipe lainnya dalam menyelenggarakan cuci darah bagi penderita gagal ginjal. Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum KPCDI, Toni Samosir kepada Bergelora.com di Jakarta Senin (27/4).
Rumah sakit dengan tipe A, seperti RS Cipto Mangunkusumo menurutnya mendapat klaim sebesar Rp 2 juta per cuci darah. Sementara, rumah sakit tipe C, mendapat pembayaran klaim dari BPJS hanya sebesar Rp 815.000 per cuci darah.
“Akibat dari perbedaan perlakuan tersebut pasien gagal ginjal yang melakukan cuci darah di rumah sakit tipe C atau D masih harus mengeluarkan biaya, diantaranya beberapa pengeluaran tambahan meliputi therapy erytropoitin,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa, setiap cuci darah pasien yang HB (hemoglobin)-nya rendah, harus melakukan therapy erytropoitin ini, yang rata-rata biaya suntiknya memakan biaya sekitar Rp 200.000-an. Selain itu, bisa juga pasien yang HB-nya rendah melalui tranfusi darah.
“Tetapi transfusi darah juga tidak dicover. Padahal, transfusi darah rata-rata membutuhkan 3 kantong darah, satu kantong biayanya Rp 400 ribu,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa BPJS hanya membiayai tabung dialiser 1 kali dalam sebulan dan di re-use sebanyak 7 kali (1 : 7 per bulan). Bila rusak sebelum satu bulan, pergantian tabung dibebankan kepada pasien. Padahal, harga tabung tersebut cukup mahal mencapai sebesar Rp 240.000 di rumah sakit tipe C dan setiap pemeriksaan darah harus mengeluarkan biaya.
“Pasien cuci darah harus secara periodik tes laboratorium. Harga tes terkena HIV dan Hepatitis C dan B memakan biaya sebesar Rp 900 ribu,” jelasnya.
Jumlah rumah sakit tipe C dan D paling banyak, karena diselenggarakan oleh swasta. Bagi pasien cuci darah, hal ini sangatlah kesulitan mencari rumah sakit dengan tipe A.
Tempat cuci darah adalah barang langka di negeri ini. Pemerintah gagal dalam membangun fasilitas kesehatan tersebut.
Tanggung Jawab Menkes
Sekretaris Jenderal KPCDI, Petrus Hariyanto menjelaskan bahwa, pada hari Kamis, 23 April 2015 lalu, KPCDI sudah bertemu dengan BPJS Pusat yang berkantor di jalan Cempaka putih, untuk menyampaikan persoalan tersebut. KPCDI mendesak agar regulasi yang sifatnya diskriminatif bisa dilakukan perubahan.
Menanggapi keluhan KPCDI, Kepala Grup Komunikasi dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan, Ikhsan mengatakan, pengaturan soal standar tarif diatur dalam Permenkes 59/2014 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan. Adanya keluhan standar tarif dari komunitas pasien cuci darah,
“BPJS tidak bisa mengubah regulasi itu. Itu bukan domainnya BPJS. Itu ada di Kementerian Kesehatan,” kata Ikhsan.
BPJS menyarankan agar KPCDI bisa memberikan data komprehensif seluruh rumah sakit dan klinik dengan tipe C tentang kondisi penyelenggaraan pelayanan cuci darah.
“Sejauh mana kondisi pasien cuci darah di rumah sakit dengan tipe tersebut. Apa saja yang masih harus dibayar. Data tersebut penting sebagai masukan dan pertimbangan kami dan Kemenkes untuk meninjau ulang regulasi yang ada,” tandas Ikhsan. (Enrico N. Abdielli)