JAKARTA- Kebudayaan sebagai bagian integral dari kehidupan, haruslah diabadikan kepada nilai-nilai hakiki dari kehidupan itu sendiri. Baik kehidupan dalam bingkai kenegaraan, kebangsaan, kemasyarakatan, individu, maupun hubungan-hubungan kepentingan yang demokratik, adil, setara dan mendewasakan antar keseluruhannya.
Dramatic Reading ‘Bukan Negara Setia’ karya Isti Nugroho yang akan di pentaskan pada hari kamis 18 Desember 2014 di Merdesa Koffe Jalan Veteran I No. 23 pada pukul 12.00 WIB – 14.00 WIB dan pukul 20.00 WIB – 22.00 WIB ini ingin menceritakan tentang perebutan kekuasaan Arya Penangsang dan Sultan Hadi Widjaya, yang terjadi pasca runtuhnya kerajaan Demak pada abad 16.
Andai dikaitkan dengan situasi politik kontemporer, drama ini, seperti yang diinginkan oleh penulisnya ingin membangun kembali dunia yang hilang. Isti Nugroho sebagai sutradara dan penulis naskah memaparkan, dunia yang hilang itu adalah kesetiaan Negara terhadap konstitusi.
“Saat ini negara perduli dengan rakyatnya hanya 5 tahun sekali pada saat pemilu. Setelah itu rakyatpun dibiarkan. Politik di Indonesia menjadikan masyarakat tak ubahnya seperti Pekerja Seks Komersial (PSK). Coblos, bayar, selesai,” tegasnya.
Adalah kenyataan yang tidak terbantahkan, hari ini kehidupan kebudayaan semakin dijauhkan dari peran dan fungsinya yang paling mendasar, yakni sebagai lahan terbuka bagi disemaikannya benih-benih peradaban.
Keberhasilan tata kehidupan ekonimi dirayakan melalui ukuran-ukuran yang sangat kapitalistik. Terus tumbuh dan berkembangnya semangat pragmatisme, konsumerisme, hedonisme, sangat dominan dalam masyarakat terutama dikalangan generasi muda.
Krisis keteladanan yang terus meluas dalam kehidupan sosial maupun politik. Hancur dan rapuhnya kebersamaan dan semangat kolektif dalam masyarakat, ini semua adalah indikator paling permukaan dari kegagalan memposisikan kebudayaan, dalam membingkai dan memadu hubungan-hubungan kepentingan atas kehidupan.
Kebudayaan telah disandera oleh kekuatan diluar hakekat nilai-nilai yang terkandung didalam dirinya, untuk memuluskan jalan kekuasaan yang berpaling dari derita nyata masyarakat pendukungnya.
Oleh karena itu hari ini diperlukan satu agenda yang sistematis, terstruktur dan berkelanjutan, untuk merebut kembali peran dan fungsi sejati dari kebudayaan itu sendiri.
Komunitas Budaya Guntur 49, yang merasa menjadi bagian tak terpisahkan dari gerakan kemasyarakatan, berkehendak tetap berada dan bersama gerakan masyarakat lain, untuk memulai dan terus mengawal agenda kebudayaan yang menggerakkan serta membangunkan kehidupan.
Sinopsis
Sebagai salah satu pewaris sah kekuasaan Demak, setelah Sultan Trenggono wafat,— Arya Penangsang terobsesi untuk merebut kekuasaan dari hegemoni Sultan Hadiwijaya. Hadiwijaya, di mata Arya Penangsang tak lebih dari menantu Sultan Trenggono, yang tidak punya hak untuk menduduki tahta apalagi memindahkan Kerajaan Demak yang ada di pantai utara Jawa Tengah ke pedalaman wilayah Pajang sebelah barat Surakarta. Perlawanan pun terus dilakukan. Namun selalu kandas.
“Aku berjalan di sebuah lorong gelap yang sangat panjang. Dalam kegelapan itu aku bertemu daging-daging indah, tubuh-tubuh tanpa perasaan, tubuh-tubuh tanpa pikiran, tubuh tanpa prinsip-prinsip kemanusiaan. Tubuh tanpa ruh. Tubuh-tubuh itu, berputar mengelilingi langkahku, menggoda perjalananku, menyerimpung langkahku untuk menuju titian suci. Terkuras seluruh energiku untuk menghalau nafsu alluamah, yang mengotori hidupku. Aku jatuh nista ibu. Membunuh, menikam, menipu serta mengkhianati. Aku berlumuran dosa ibu. Aku ingin menangis di pangkuanmu. Betapa banyak kemuliaan yang harus kubuang dalam menjalani kehidupan yang fana ini ibu, demi memperebutkan kekuasan duniawi ini. Aku rindu kamu ibu, ingin aku berkeluh kesah,” pekik Arya Penangsang.
Di sisi lain, Arya Penangsang mengalami situasi batin yang sulit, karena dituduh membunuh para pewaris Tahta Demak, Sultan Mukmin, Sultan Trenggono, Hadiri dan tokoh-tokoh lain. Situasi politik perebutan Kerajaan Demak waktu itu juga berhubungan dengan konflik agama. Islam menghadapi Jawa. Kebudayaan Jawa yang sinkretis, pada waktu itu kelihatan berhadapan dengan
politik Islam para Wali. Situasi pelik itulah yang memuculkan suara batin Arya Penangsang.
Sunan Kudus-lah yang mampu memotivasi Penangsang untuk bangkit dan meneruskan perjuangan untuk merebut kekuasaan Demak yang telah jatuh ke tangan Hadiwijaya. Sunan Kudus menyusun skenario pertemuan.
Ia mengundang Hadiwijaya yang juga muridnya dalam sebuah forum ‘mbabar ngelmu’. Di balik siasat itu terkandung niat untuk mempedaya Hadiwijaya. Maka pertemuan pun digelar. Terjadi perdebatan soal tata-negara antara kubu Penangsang dan Kubu Hadiwijaya. Yang satu mewakili pandangan kaum santri, di mana Islam menjadi dasar negara. Yang lainnya mewakili pandangan sinkretis Jawa, di mana tradisi dan budaya lokal dijadikan pijakan untuk mengelola kekuasaan. (Tiara Hidup)