Oleh: Wahyu A. Permana*
Bahwa pilkada serentak tahun 2017 adalah agenda politik nasional bangsa Indonesia yang harus terselenggara dengan damai dan berkualitas. Oleh karenanya setiap unsur yang mendukung terlaksananya proses demokrasi di tingkat lokal harus juga berkualitas. Aturan penyelenggaraan pilkada yang dibuat oleh DPR dan Pemerintah haruslah mampu menjamin terwujudnya kepastian hukum bagi setiap warga negara untuk menggunakan hak politiknya dengan demokratis, transparan dan akuntabel. Tidak kalah pentingnya adalah aturan pelaksanaan yang berdasarkan nilai-nilai moral dan etika sosial yang ada dan mengakar kuat di masyarakat. Jangan sampai aturan penyelenggaraan yang dibuat malah bertentangan dengan logika dan akal sehat terlebih apabila berbenturan dengan nilai-nilai kebaikan dan etika sosial masyarakat.
Pilkada sejatinya adalah mencari pemimpin daerah (bangsa) untuk menjalankan roda pemerintahan guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu dibutuhkan sosok  yang berkualitas, berintegritas dan memiliki komitmen kepada berbagai persoalan rakyat. Tidak kalah pentingnya adalah sosok tersebut haruslah memiliki rekam jejak yang baik, tidak tercela dan tidak cacat hukum. Masyarakat membutuhkan figur seseorang pemimpin yang terbaik dari segi kemampuan dan integritas moral yang bersangkutan agar dapat menjalankan amanah kepemimpinannya dengan sebaik-baiknya, dengan selurus-lurusnya. Bukan hanya sebagai seorang pemimpin, kepala daerah juga merupakan figur dan simbol keterwakilan seluruh rakyat yang dipimpinnya.
Aturan pelaksanaan pilkada yang disusun oleh Komisi Pemilihan Umum yang dikonsultasikan kepada DPR RI dan Pemerintah haruslah memberikan kejelasan dan kepastian kepada seluruh calon dan juga rakyat sebagai pemilih. Jangan karena ada kepentingan politik yang sempit dan jangka pendek mengorbankan aturan main yang sifatnya demokratis, transparan dan akuntabel serta berdimensi jauh ke depan.
Karena ingin memaksakan keinginan dan nafsu berkuasa sekelompok orang namun merusak aturan main sekaligus tatanan nilai-nilai sosial dan etika moral masyarakat. Ibarat pepatah karena nilai setitik rusak susu sebelanga, karena satu pasal soal terpidana bisa ikut pilkada rusaklah seluruh tatanan sosial dan nilai-nilai moral kemasyarakatan.
Oleh karena itu sungguh merupakan keputusan yang bertentangan dengan logika publik dan menuai kontroversi apabila DPR RI dan Pemerintah sepakat untuk mengijinkan terpidana untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Sulit dibayangkan seseorang yang terbukti bersalah karena melanggar hukum namun mendapatkan kesempatan untuk menjadi seorang pemimpin masyarakat. Seorang terpidana tidak memiliki legitimasi hukum, moral dan sosial karena terbukti bersalah melanggar undang-undang dan aturan baku masyarakat. Kalaupun ada celah hukum yang memperbolehkan namun hal itu sangatlah tidak sebanding dengan aspek moral dan sosial yang telah dilanggarnya.
Dapat dibayangkan kualitas kepemimpinan macam apa yang akan dijalankannya sementara dirinya adalah terpidana. Hampir dapat dipastikan kepemimpinannya akan penuh dengan persoalan akibat tekanan baik secara  sosial, hukum, dan politik.
Kepala daerah semacam ini pasti tidak mampu membuat kebijakan yang berpihak kepada rakyat banyak akibat tekanan yang diterimanya akibat posisi terpidana yang disandangnya. Bisa jadi dipaksakannya seorang terpidana untuk ikut mencalonkan diri di pilkada adalah memang sebuah rencana besar kekuasaan dan pemilik modal untuk mengkooptasi suatu wilayah. Karena hanya seorang pesakitan lah yang dapat mengelak apabila ditekan dan diintimidasi agar mengikuti kemauan pihak-pihak yang berkuasa.
Anggota DPR RI yang terhormat seharusnya memiliki kebijaksanaan dalam merumuskan suatu aturan perundangan. Sebagai wakil tentunya sangat tidak pantas untuk mempertaruhkan kepentingan dari 250 juta lebih rakyat Indonesia dibandingkan segelintir orang yang ingin berkuasa. Justru sebaliknya anggota DPR RI harus menjadi garda terdepan untuk menjaga tatanan sosial kemasyarakatan yang berlandaskan nilai-nilai moral dan etika sosial yang baik dan beradab. Jangan malah menjadi aktor utama yang mendorong degradasi nilai-nilai kearah yang lebih buruk dan tidak beradab.
DPR dan Mahkamah Konstitusi memiliki tanggung jawab moral dan politik menjadi benteng pertahanan nilai-nilai sosial, moral dan etika yang baik. Bukan malah sebaliknya justru berperan aktif dalam mendegradasi nilai-nilai tersebut. Masa depan keberlangsungan bangsa dan negara ini ditentukan oleh mampu tidaknya kita, sebagai bangsa menjaga nilai-nilai moral dan etika sosial yang baik.
Partai politik sebagai pilar demokrasi dan pemegang mandat rakyat harus melihat persoalan ini dengan jernih dan lurus. Sebagai produsen pemimpin bangsa, partai politik harus mampu menghasilkan calon-calon dan kader-kader terbaiknya yang paling memiliki kapasitas, integritas dan komitmen kepada masyarakat. Persoalan terpidana pada pilkada adalah soal hitam putih soal hukum dan bukan abu-abu sebagaimana selalu ada di ranah politik. Karena itu tidak ada toleransi sekecil apapun untuk membuka celah hukum dan aturan bagi mereka yang sudah cacat hukum. Saatnya partai politik fokus kepada para calon kepala daerah yang berkualitas, berintegritas dan tidak bermasalah secara hukum.
Masyarakat jangan dibuat bingung dan ragu dengan logika sesat yang mengijinkan terpidana ikut pencalonan di Pilkada. Sistem dan mekanisme yang dibuat oleh para anggota dewan yang terhormat haruslah bertujuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat madani yang beradab, berahlak dan berbudaya. Jangan sampai sistem yang dibuat atas dasar logika yang sesat menyebabkan masyarakat tersesat dan kehilangan arah dari nilai-nilai moral dan etika sosial yang baik.
*Penulis adalah Direktur Eksekutif Pilkada Watch
Â