MAKASSAR- Aksi Indonesia Muda (AIM) yang aktif memberdayakan para pengemis (eks kusta) di jalan Dangko Jongaya menuntut Pemerintah Kota Makassar membayar upah kepada tukang sapu jalan di Dangko, Aksi Indonesia Muda (AIM) sebuah komunitas yang menghimpun Anak muda makassar yang aktif dalam melakukan pemberdayaan masyarakat dengan membangun usaha kerajinan tangan melalui pengembangan industri kreatif.
“Sembilan bulan lamanya, Pemkot Makassar dalam hal ini Dinas Sosial Makassar tak kunjung memberikan upah kepada para penyapu jalan yang tinggal di jalan Dangko, kampung mantan penderita kusta,” Hal ini disampaikan oleh Presiden AIM, Adryan Yudhistira Purwanto kepada Bergelora.com di Makassar, Minggu (3/1).
Padahal menurutnya kegiatan ini merupakan program yang diusung oleh Dinsos Makassar diawal bulan Januari tahun 2015 lalu, dengan tujuan agar dapat mempekerjakan warga Dangko menjadi penyapu jalan di sekitaran Abdul Kadir Cenderawasih, sekaligus sebagai upaya meminimalisir jumlah pengangguran dari kampung ini.
Ia menjelaskan para penyapu jalan tersebut, hanya sempat menerima upah selama 3 bulan namun setelah itu tidak ada lagi. Upahnya pun, bukan dalam bentuk fresh money melainkan dalam bentuk sembako yang sudah disepakati pada awalnya antara para pekerja bersama pihak Dinsos.
“Sayangnya, program tersebut jauh dari cita-cita awalnya. Pasalnya, sudah sekian lama para penyapu jalan ini bersabar menunggu upahnya namun tidak pernah diberikan selama kurang lebih untuk 9 bulan. Bisa kita bayangkan, apa jadinya jika para pekerja dibiarkan bekerja begItu saja kemudian terlunta-lunta selama 9 bulan tanpa ada kejelasan kapan mereka diberikan upah, “Ujar Adryan.
Sekretaris Jenderal AIM, Sulaiman menjelaskan pertanggal 3 Agustus 2015 Lembaga Sosial (Aksi Indonesia Muda) sudah mencoba meng-advokasi para pekerja penyapu jalan untuk bersama-sama membuka dialog dengan pihak Dinsos.
“Sayangnya, tidak ada solusi konkret yang dihasilkan dari forum dialog yang dilakukan. Malah para pekerja hanya “dijanjikan” akan diberi gaji pada bulan September 2015. Adapun alasan terlambatnya keluar gaji pekerja, dikarenakan dananya belum cair dari DPRD. Alhasil hingga detik ini, upah sebanyak 20 orang para penyapu jalan tak kunjung diberikan yang akhirnya makin membuat warga Kampung Dangko pesimis dengan langkah pemerintah,” ujarnya.
Internal Vice President AIM, Ma’rifatun Qamariyah menuntut agar pemerintah semestinya hadir sebagai pendorong bagi rakyat kecil menuju kesejahteraan, bukan hanya membuat mereka sebagai “modal politik” untuk berebut jabatan.
“Kampung Dangko malah jadi satu stereotype kampung kaum marginal yang diperlakukan bak “sapi perah” dan hanya digunakan untuk meraup suara saat momen pemilu. Politik hadir dengan wajahnya yang bengis dengan menakar manusia sebagai satu suara, tidak lebih dari itu. Di saat mereka membutuhkan dorongan dari pemerintah, malah pemerintah terkesan membiarkan seolah mereka bukan bagian dari elemen perkotaan,” ujarnya.
Ia menjelaskan, Kampung Dangko merupakan salah satu kampung miskin di pinggiran kota Makassar yang sejak dulu merupakan penyumbang jumlah pengemis terbesar di Makassar. Kampung ini dihuni oleh mantan penderita kusta beserta keluarganya banyak berprofesi sebagai pengemis, tukang parkir, dan pemulung. Namun sayangnya, sejak dahulu belum ada tindakan yang serius dari Pemerintah Kota Makassar untuk mengurai masalah pengemis dari kampung ini secara berkesinambungan.
“Pemerintah hanya sibuk mencari slogan-slogan keren yang pas buat perkotaan tapi selalu minim esensi dan dampak berkelanjutan. Tagline “Makassar Kota Dunia” atau bahkan “Makassar Tidak Rantasa” hanya akan jadi pemanis di telinga sekian banyak warga Dangko, yang mencari uang makan pun susah,” tegasnya. (Muh. Saleh)