JAKARTA- Dewan Perwakilan Daerah (DPD) harus paham bahwa globalisasi yang membawa pasar bebas (laissez-faire), menolak dan menafikan segala bentuk “perencanaan” pembangunan. Padahal perencanaan pembangunan yang dulu digariskan dalam GBHN (Garis Besar Haluan Negara) adalah desain masa depan yang menjadi dasar bagi perencanaan pembangunan nasional. Hal ini disampaikan oleh Guru Besar Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Sri Edi Swasono kepada Bergelora.com, Senin (2/11) menanggapi pernyataan DPD beberapa waktu lalu, agar daerah-daerah siap bersaing di dalam Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) nanti.
“Justru didalam MEA, setiap pemerintah daerah harus bekerjasama untuk saling menguatkan, bukan saling bersaing antar daerah yang kuat dengan yang lemah sumber dayanya. Sehingga jangan sampai ada daerah yang diuntungkan dari daerah yang dirugikan,” tegasnya.
Anggota Presidium Komite Kedaulatan Rakyat (KKR) ini mengingatkan bahwa ASEAN dan MEA adalah forum kerjasama. Dalam kerjasama tidak boleh ada yang dirugikan, makna kerjasama adalah bersinergis untuk saling menguntungkan. Kerjasama yang merugikan salah satu atau seluruh pihak haruslah distop dan ditolak, kerjasama bicara tentang traktat dan aliansi. Kerjasama bukan ajang jual-beli kedaulatan.
“Kita harus menyingkirkan insting bersaing dalam MEA. Persaingan global yang tidak ramah harus ditangkal melalui semangat kebersamaan. Sebaliknya kerjasama global harus lebih ditonjolkan demi meredam persaingan yang saling merugikan,” tulisnya dalam tulisan terbarunya pada buku “Keindonesiaan-Demokrasi Ekonomi, keberdaulatan dan Kemandirian” yang terbit September 2015 lalu.
Ia menjelaskan, bahwa kerjasama bukanlah suatu konspirasi. Kerjasama adalah upaya bersama untuk saling dukung-mendukung bergotong-royong demi mencari manfaat bersama dan bukan untuk mencari kelemahan atau mengintip kelengahan pihak lain, tidak untuk menunggangi dan merampok pihak lain yang lebih lemah dan lengah.
“Kita harus mahir menyusun traktat kerjasama, membuat aliansi-aliansi strategis dan proyek-proyek kerjasama pembangunan lain-lainnya, sebaliknya kita tolak apa saja yang mencederai negara dan rakyat,” jelasnya dalam buku itu.
Kesalaham Akademisi
Sri Edi Swasono menyesali para akademisi dan kaum intelektual pun telah mengalami kesalahan dalam berpikir tentang kerjasama. Ia menyebutkan kesalahan para akademisi di dalam kampus ini akibat dari keterjajahan akademis (academic hegemony) dan kemiskinan akademis (academic poverty)
“Betapa lucunya dalam forum kerjasama kampus-kampus pun berpola-pikir persaingan. Mindset itulah yang ditanamkan di kepala kita oleh para adidaya kapitalisme global. Ini membuat mereka seperti kerbau dicocok hidungnya,” tegasnya.
Kepada para akademisi dan kaum intelektual, Sri Edi Swasono menjelaskan bahwa dalam forum kerjasama yang lebih tepat digunakan bukanlah perkataan “daya saing” (competitive advantage), tetapi adalah “daya kerjasama” (co-operative advantage). Persaingan dan kerjasama, keduanya merupakan realita. Untuk merukunkan keduanya diciptakan perkataan “co-operation”, artinya mengatur persaingan melalui kerjasama yang baik. Dengan kata lain “persaingan” perlu direduksi substansinya menjadi “perlombaan”, suatu “concours” ataupun “contest”.
“Yang kalah berlomba tetap dipelihara, bahkan diberdayakan. Di dalam negeri ekonomi Indonesia harus digerakkan dengan kerjasama meningkatkan efisiensi untuk menghadapi kekuatan ekonomi luar-negeri,” tegasnya. (Calvin G. Eben-Haezer)