JAKARTA- Menyusul devaluasi mata uang Yuan oleh China, pemerintah Indonesia harus segera melakukan memproteksi dan mensubsidi produksi dalam negari. Karena proteksi dan subsidi adalah hak sosial-ekonomi rakyat, bahkan hak hukum dan hak politik rakyat yang diperintahkan oleh oleh Pembukaan (Preambule) Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi negara wajib melindungi segenap bangsa dan selutuh tumpah darah Indonesia. Hal ini ditegaskan oleh Guru Besar Universitas Indonesia, Prof Sri Edi Swasono kepada Bergelora.com di Jakarta, Senin (24/8).
“Kita bersahabat dan bekerjasama dengan bangsa-bangsa lain tetapi tidak untuk menyerahkan kedaulatan dan menyengsarakan rakyat. Adalah keberdaulatan China melakukan devaluasi Yuan. Adalah keberdaulatan Indonesia untuk menjaga dan memproteksi ekonomi nasional kita,” tegas anggota Presidium Komite Kedaulatan Rakyat (KKR) ini.
Menurutnya, menegakkan kedaulatan ekonomi adalah tugas pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia. Nasionalisme dan patriotisme ekonomi adalah jerja keras meningkatkan produktivitas kerja dan berekonomi kreatif.
“Ada Pasal 33, jangan kita tersihir dan menjadi “Pak Turut” rezimnya Pasar-Bebas. Akhiri merasa inlander: Kita bukan lagi “eine Nation von Kuli und Kuli unter den Nationen”. Tegasnya.
Untuk itu, Sri Edi Swasono mengajak pemerintahan Joko Widodo dan seluruh rakyat Indonesia untuk merdeka dan memastikan revolusi mental.
“Ayo merdeka! Ini revolusi budaya! Revolusi mental adalah tuntutan Proklamasi Kemerdekaan. Sekaligus mencintai produk Indonesia. Kita lawan importir rakus yang tidak berhati merah putih,” tegasnya lagi.
Perang Urat Syaraf
Sebelumnya ia menjelaskan bahwa ketundukan setiap pemerintahan di Indonesia pada kehendak kepentingan asing merupakan hasil neocortical warfare (perang urat syaraf). Perang yang sudah berlangsung lama ini sudah berhasil merubah dan menundukkan pola pikir mindset setiap elit politik dan sebagian besar masyarakat Indonesia. Demikian Guru Besar Universitas Indonesia, Prof. Sri-Edi Swasono kepada Bergelora.com di Jakarta, Jumat (27/2).
“Perang urat syaraf telah menundukkan pola-pikir dalam otak kita. Ini adalah perang untuk menundukkan kemudian mendiktemindset otak kita,” jelasnya.
Sri-Edi Swasono menjelaskan bahwa semuanya diawali dengan apa yang disebut oleh Thomas Hobbes sebagai bellum omnium contra omnes yaitu ‘sebuah perang antar semua melawan semuanya’ yang dikembangkan dan lanjutkan oleh kapitalisme yang tumbuh menjadi imperialisme dengan neocortical warfare-nya.
“Ini semua yang membuat pemimpin bangsa ini ndeprok terhadap asing yang brutish and greedy (kasar dan rakus-red),” tegasnya.
Thomas Hobbes adalah seorang filsuf Inggris pada abad 16 yang sangat mempengaruhi politik ekspansionis kerajaan Inggris. Dalam buku karangan Thomas Hobbes berjudul Leviathan ia menyebutkan bahwa pertama-tama keadaan manusia tanpa perang adalah bahwa semua manusia memiliki hak-hak yang sama.
Dalam karyanya yang lain yang berjudul Libertas, ia menyebutkan bahwa keadaan alami manusia, sebelum masuk ke dalam masyarakat, muncullah perang pada umumnya dan tidak sesederhana itu, namun perang antar semua manusia melawan semua sesamanya.
Thomas Hobbes melanjutkan bahwa manusia pada dasarnya memiliki kebutuhan untuk meraih apa yang menurutnya baik dan tidak ada manusia yang menginginkan perang antar segala melawan semuanya sebab keadaan manusia yang pada dasarnya menginginkan apa yang menurutnya baik. (Dian Dharma Tungga)