JAKARTA- Sistem ekonomi dan keuangan yang dijalankan pemerintah Indonesia yang eksklusif hanya memperkaya yang besar dan meninggalkan yang kecil. Semakin maju usaha-usaha besar, semakin mudah pula memperoleh pendanaan dari sumber manapun, termasuk dari publik. Sebaliknya, semakin kecil dan kerdil usaha-usaha mikro, apalagi yang baru, semakin dijauhi oleh lembaga-lembaga keuangan termasuk dari bank pemerintah. Inilah alasan, antara lain, mengapa usaha mikro yang jumlahnya sekitar 55,8 juta, atau 98,8% dari seluruh unit usaha nasional tetap berada di bottom of the pyramid. Hal ini disampaikan oleh pengusaha nasional Tanri Abeng dalam forum Poppy Dharsono Foundation di Jakarta, Jumat (3/10) lalu.
Mantan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini menjelaskan permasalahan UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) khususnya yang bergerak di sektor sumber daya alam, berada di daerah dengan karakteristik skala usaha terlalu kecil untuk marketable secara profitable. UMKM juga tidak memiliki akses pasar dan daya tawar yang rendah karena terlalu kecil.
“Usaha kecil tidak memiliki pengetahuan mengenai kualitas yang menentukan harga pasar. Mereka juga tidak memiliki akses pendanaan, terlebih karena kepemilikan lahan tidak dapat dijaminkan,” ujarnya.
Sumber pendanaan berpola “ijon” yang selalu berbiaya tinggi, menurutnya menyebabkan harga produksi hanya ditentukan oleh pengijon. UMKM juga tidak memiliki akses untuk mendapatkan kebutuhan produksi seperti peralatan, pupuk, dan lain-lain) secara teratur dengan harga yang wajar.
“Infrastruktur di perdesaan belum mendukung proses produksi, pemasaran, dan logistik yang cost effective. Pengelolaan dan keterampilan teknis dan manajemen sangat terbatas hingga tak dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas untuk menaikkan pendapatan. Selain itu kualitas SDM juga rendah dan manajemen usaha masih lemah,” jelasnya kepada Bergelora.com.
Pemerintah menurutnya telah mendorong dan memfasilitasi sumber-sumber pendanaan yang beraneka ragam, selain dari APBD, APBN, juga melalui Program KUR (Kredit Untuk Rakyat), Program KUMK (Kredit Usaha Menengah Kecil), Program LPDB-KUKM (Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah), PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan) bahkan CSR (Coorporate Social Responsibility) dari perusahaan besar asing dan nasional.
“Namun tidak terintegrasi. Sehingga sumber-sumber pendanaan yang difasilitasi oleh pemerintah ini tidak mampu mengangkat posisi UMKM,” jelasnya.
Condong Politik
Menurutnya hal ini disebabkan oleh sumber-sumber pendanaan yang terlalu terfragmentasi, dan tidak terorganisir dan tersistem untuk mendapatkan target UMKM yang memiliki struktur usaha yang feasible dan bankable.
“Keterlibatan birokrat yang kurang memahami dinamika bisnis dan ekonomi memotong link and match antara pemerintah sebagaidriver pengalokasi dan pelaku ekonomi kerakyatan dengan berbagai kelemahan diatas. Orientasi alokasi pendanaan condong menggunakan pendekatan politik dengan praktek yang berpola transaksional jangka pendek, ” ujarnya.
Menurutnya, sumber pendanaan yang relatif berhasil adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR) karena langsung dilaksanakan oleh bank-bank pemerintah. Sayangnya, efektivitas dan sasaran KUR ini belum juga optimal, sebagaimana data Realisasi Penyaluran KUR 2014 dengan Plafon Rp. 158,25 triliun versus Realisasi Rp. 50,04 triliun, yang bermakna penyerapan hanya 31,62%.
“Debitur mencapai 11,3 juta, masih jauh dibawah jumlah UMKM sebesar 56,8 juta. Penerima kredit terbesar adalah sektor perdagangan sebesar Rp. 29,3 triliun dengan 7,4 juta debitur, yang tidak menyumbang nilai tambah yang besar,” ujarnya.
Sektor pertanian yang dapat menyumbang pendapatan nasional terbesar hanya menurutnya hanya menerima Rp. 10,3 triliun dengan jumlah debitur 1,8 juta. Padahal porsi terbesar dari 56,8 juta UMKM adalah di sektor pertanian.
“Suku bunga yang masih tinggi sebesar 22% untuk KUR Mikro dan 14% untuk KUR Retail. Selagi akses pendanaan belum terjangkau oleh UMKM karena skala usaha yang tidak feasible and bankable, tidaklah mungkin terjadi peningkatan kontribusi UMKM dalam pembentukan PDB sekaligus menyumbang pertumbuhan yang inklusif,” tegasnya. (Web Warouw)