JAKARTA- Pemerintah tidak bisa gunakan pasal 30 Undang-undang No 30 Tahun 2007 tentang Energi untuk lakukan pungutan dari penjualan BBM (Bahan bakar Minyak). Hal ini ditegaskan oleh ahli tata negara, Yusril Ihza Mahendra kepada Bergelora.com di Jakarta, Sabtu (26/12).
“Pemerintah tidak bisa seenaknya menggunakan pasal 30 Undang-undang Energi untuk memungut dana masyarakat dari penjualan BBM (Bahan bakar Minyak). Untuk kepentingan penelitian energi baru dan terbarukan, pasal tersebut menyebutkan dananya berasal dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) dan dana swasta, yang terlebih dahulu harus dianggarkan,” ujarnya.
Yusril mengingatkan bahwa, penganggaran tersebut dengan sendirinya harus dengan persetujuan DPR dan DPRD. Tidak ada norma apapun dalam pasal 30 Undang-undang Energi tersebut yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan pungutan langsung kepada masyarakat konsumen BBM.
“Tiap pungutan haruslah masuk dalam kategori PNBP (Penerimaan Negera Non Pajak) yang lebih dulu harus ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah,”
Pasal 30 Undang-undang Energi katanya memang menegaskan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang biaya riset untuk menemukan energi baru dan terbarukan harus diatur dengan PP (Peraturan Pemerintah).
“Namun hingga kini peraturan pemerintah tersebut belum ada,” katanya.
Menurutnya, menteri ESDM (Energi dan Sumberdaya Mineral) tidak bisa menjalankan suatu kebijakan pungutan BBM tanpa dasar hukum yang jelas, baik menyangkut besaran pungutan, mekanisme penggunaan dan pertanggungjawabannya.
“Kebiasaan mengumumkan suatu kebijakan tanpa dasar hukum ini, seharusnya tidak lagi dilakukan oleh pemerintah karena bertentangan dengan asas negara hukum yang dianut oleh UUD 1945,” tegasnya.
Lagipula menurutnya, tidak pada tempatnya pemerintah memungut sesuatu dari rakyat konsumen BBM. Dari zaman ke zaman Pemerintah selalu memberikan subsidi BBM kepada rakyat, bukan sebaliknya membebankan rakyat dengan pungutan untuk mengisi pundi-pundi pemerintah.
“Itu tidak diperbolehkan, walau dengan dalih untuk kepentingan penelitian dan pengembangan energi baru dan terbarukan,” tegasnya.
Mulai tahun depan pemerintah akan membebankan pungutan untuk Dana Ketahanan Energi. Bagi konsumen Premium, besaran pungutan yang dibebankan sebesar Rp 200 per liter. Sementara untuk Solar, besaran pungutannya Rp 300 per liter. Khusus untuk solar, dana ketahanan energi ditanggung oleh pemerintah dalam bentuk subsidi. Sementara untuk premium, meskipun sudah mengikuti mekanisme pasar, tetap dibebankan ke konsumen.
Sebelumnya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengumumkan, harga jual per liter premium dan solar terhitung mulai 5 Januari 2016 turun masing-masing sebesar Rp150 dan Rp300. Dengan demikian, harga premium turun dari harga keekonomian saat ini Rp7.300 per liter menjadi Rp6.950 per liter.
Sementara harga solar turun dari Rp6.700 per liter menjadi Rp5.650 per liter. Sementara untuk solar, dikenakan dana ketahanan energi sebesar Rp300 per liter. Namun, dana tersebut ditanggung pemerintah, selain subsidi harga yang masih melekat sebesar Rp1.000 per liter. (Calvin G. Eben-Haezer)